Kamis, 04 April 2013

HAK SUAMI ISTRI DALAM RUMAH TANGGA




HAK SUAMI ISTRI DALAM RUMAH TANGGA
Oleh : Agus Pranowo*
Peristiwa karamnya bahtera keluarga merupakan tragedi memilukan yang sering kita saksikan dalam kehidupan rumah tangga. Betapa banyak rumah tangga yang semula dibangun indah bertabur kasih sayang, namun akhirnya kandas sebelum mencapai finish, rumah tangga hancur berantakan diombang-ambingkan oleh badai tak terarah.
Banyak faktor yang menjadi penyebab hal seperti ini, di antaranya adalah kurangnya perhatian suami/istri terhadap hak-hak pendampingnya, sehingga masing-masing merasa jauh dari ketentraman lantaran hak-haknya tidak terpenuhi. Sebaliknya, betapa banyak keluarga sederhana yang hidup pas-pasan, namun rumahtangganya indah berhias rasa damai dan tenteram tatkala masing-masing suami istri mengerti dan menunaikan hak pendampingnya.
Oleh karenanya, penting kiranya kita mengetahui hak dan kewajiban  dalam rumah tangga, agar lebih mudah menggapai harapan dalam berkeluarga.
Hak istri atas suami
Di antara hak seorang istri atas suaminya adalah:
1.    Dipergauli dengan baik
     Secara pembawaan kodrati, wanita diciptakan di atas fitrah yang sensitif dan emosional. Oleh karenanya, seorang suami dituntut untuk mepergauli istri dengan baik dan lemah lembut agar tercipta suasana hati yang teduh serta jiwa yang tenang. Allah memerintahkan, “Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (QS. An Nisa: 19)
     Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan. Beliau bersabda, “Pergaulilah istri-istri kalian dengan baik, sebab mereka tercipta dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atas. Jika kalian berupaya meluruskannya, bisa jadi malah mematahkannya. Namun jika kalian membiarkannya ia akan tetap bengkok. Maka pergaulilah istri-istri kalian dengan baik.” [HR. Bukhari dan Muslim]
     Suami yang arif dan bijaksana sadar betul akan fitrah ini, dia akan menerima sifat ini serta menyikapinya dengan bijak, bukan dengan sikap kasar apalagi membabi buta.
2.    Mendapat nafkah dari suami
     Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, apa hak istri atas suami?” Beliau menjawab, “Engkau harus mencukupi makanannya jika engkau makan, menckupi kebutuhan pakaiannya, jangan memukul wajahnya, jangan memakinya dan jangan mendiamkannya kecuali dirumah.” [HR. Abu Daud]
     Hadist di atas menerangkan bahwa memberi nafkah adalah kewajiban suami, meskipun sang istri adalah seorang hartawan.
3.    Mendapat nafkah biologis
     Di antara kewajiban suami adalah memenuhi kebutuhan biologis istri. Ia tidak boleh menelantarkannya tanpa sebab yang dibenarkan. Karena, hal itu berarti menzhaliminya, meskipun alasan suami adalah untuk berkonsentrasi dalam ibadah. Hal demikian menurut Islam tetap tidak boleh.
     Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hai Abdullah! Benarkah berita bahwa engkau terus berpuasa di siang hari dan shalat di malamnya?”
     Aku berkata, “Benar ya Rasulullah.”
     Beliau bersabda, “Jangan berbuat demikian! Berpuasalah dan berbukalah. Shalatlah, tapi juga tidurlah. Sebab fisikmu, matamu dan istrimu memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari)
4. Memperoleh pembagian yang adil
Suami yang memiliki istri lebih dari satu, wajib berbuat adil di antara istri-istrinya. Sebab Allah mensyaratkaan kemampuan berlaku adil bagi orang yang ingin memadu istrinya. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Hak suami atas istri
1.    Menaati suami
Ketaatan  terhadap suami merupakan syariat  yang Allah gariskan atas para istri. Mereka diwajibkan untuk menaati suami selama tidak keluar dari jalur syariat. Hal ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk menggapai kemaslahatan dan menghindari keburukan. Oleh karenanya, pantaslah kiranya Allah memberikan apresiasi yang baik pula kepada para istri yang senantiasa taat kepada suami.
Rasullullah shallallahu alaihi wasallam bersada, “Jika seorang istri menunaikan shalat lima waktu dan memelihara kemaluannya dan taat kepada suami,maka dia akan masuk surga melalui pintu mana saja yang ia kehendaki (HR.Ibnu Hibban, dishahihkan syaikh Albani dalam misykahul mashabih).
Betapa Islam telah memberikan penghargaan dan balasan yang besar terhadap istri yang taat kepada suaminya...
2.    Hendaknya istri tidak menolak hajat biologis suami.
Diantara tujuan nikah adalah tercapainya penyaluran biologis suami-istri. Ia merupakan hal yang mendasar bagi manusia di muka bumi ini. Sang istri tidak boleh menolak ajakan suami kapan pun ia berkahendak untuk menyalurkan hajat biologisnya selagi tidak ada halangan-halangan syar'i padanya. Rasullullah shallallahu alaihi wasallam bersada, ” Apabila seorang istri tidur meninggalkan ranjang suaminya, maka para malaikat akan melaknatinya hingga ia kembali menempatinya.” [HR.Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat lain beliau bersabda, ” Tidaklah seorang istri menolak hajat biologis suaminya kemudian ia tidur dengan perasaan marah terhadap istrinya,melainkan para malaikat akan melaknatnya hingga waktu subuh tiba.” [HR. Thabrani]
3.    Seorang istri tidak boleh keluar ruamah tanpa seizin suaminya.
Hal ini sebagaimana yang telah disabdakan oleh panutan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Tidak halal seorang istri mengizinkan orang lain memasuki rumahnya sedang suaminya membenci hal itu. Dan ia tidak boleh keluar rumah sedang suami tidak menyukainya.”  [HR.Thabrani]
4.    Menjaga harta suami
Rasulullah bersabda, “sebaik-baik perempuan yang menunggang unta adalah perempuan quraisy yang shalihah,yaitu yang paling sayang kepada anaknya di masa kecil,serta yang paling pandai menjaga harta benda suaminya. [HR. Bukhari dan Muslim]

Tak sebatas teori
Tatkala bebicara masalah teori, barangkali banyak kaum muslimin yang sudah mengetahui hak dan kewajiban suami-istri secara mendalam, lebih dari sekedar apa yang disebutkan di atas. Namun wahana keilmuan tidak sebatas untuk diketahui saja, lebih dari itu ilmu yang bermanfaat di kenal untuk diamalkan.
Dalam makalah ini tiada sesuatu yang baru, makalah ini hanyalah sekedar mengulang dan mengingatkan. Sebab setiap orang sudah mengetahui dan memahaminya. Namun, siapa yang berkenan mengamalkannya? Dimanakah gerangan orang yang bersedia merealisasikan?
Inilah sebenarnya yang menjadi kunci utama  kesuksesan dalam berumah tangga. Sebab berapa banyak  kaum muslimin yang sudah berilmu, atau bahkan memiliki gelar keilmuan yang tidak rendah, namun mereka masih gagal dalam membina rumah tangganya lantaran tidak mengamalkan ilmunya.
Apapun alasannya, yang pasti kita sebagai umat Islam tentu lebih bangga dan percaya dengan syariat agama kita. Maka tak sepantasnya bagi kita untuk meninggalkan hak dan kewajiban yang telah dituntunkan agama ini.  Meskipun tulisan ini belum mewakili seluruh pembahasan tentang hak dan kewajiban suami istri, namun semoga yang sedikit ini memberikan manfaat bagi kita semua.*Mahasiswa STDI Imam Syafi’i
Referensi utama: Tuhfatul ‘arus, Majdi Muhammad Asy Syahawi.

Riba Dalam Islam



RIBA DALAM ISLAM

Oleh : Agus Pranowo*

Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba adalab barang terlarang dalam pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.

Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.

Pengertian Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt:

(ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).
Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham.

Hukum Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275).

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276).

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).

Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).

Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).

Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230).

Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279).

Klasifikasi Riba
Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.
Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang sudah ditentukan di awal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo. Riba model ini diharamkan oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam.

Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar barang yang sejenis dengan ada tambahan, misalnya tukar menukar uang dengan uang, menu makanan dengan makanan yang disertai dengan adanya tambahan.

Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw dan ijma’ kaum Muslimin, karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah.

Beberapa Barang yang padanya Diharamkan Melakukan Riba
Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang yang sudah ditegaskan nash-nash syar’i berikut:

Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “(Boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sebanding, sama dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 949, dan Muslim III: 1211 no: 81 dan 1587).

Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang sejenis dari empat jenis barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar dengan tamar, maka haram tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama baik dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa memperhatikan kualitasnya bermutu atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam majlis.

Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual emas dan perak yang barang-barangnya belum ada dengan kontan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208 no: 1584, Nasa’i VII: 278 dan Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na).

Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda. “Emas dengan emas adalah riba kecuali begini dengan begini (satu pihak mengambil barang, sedang yang lain menyerahkan) bur dengan bur (juga) riba kecuali begini dengan begini, sya’ir dengan sya’ir riba kecuali begini dengan begini, dan tamar dengan tamar adalah riba kecuali begini dengan begini.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bahri IV: 347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1209 no: 1586, Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasa’i VII: 273 dan bagi mereka lafadz pertama memakai adz-dzahabu bil wariq (emas dengan perak) dan Aunul Ma’bud IX: 197 no: 3332 dengan dua model lafadz).

Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah mendapat rizki berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1216 no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 311 no: 2080 secara ringkas dan Nasa’i VII: 272).

Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini dengan lain jenis, seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan dengan syarat harus diserahterimakan di majlis:
Berdasar hadits Ubadah tadi:

…tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubadah ra Nabi saw bersabda: “Tidak mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak mengapa menjual bur dengan sya’ir dan sya’irnya lebih banyak daripada burnya secara kontan dan adapun secara kredit, maka tidak boleh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 195 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 198 no: 3333).

Apabila salah satu jenis di antara enam jenis ini ditukar dengan barang yang berlain jenis dan ‘illah ‘sebab’, seperti emas ditukar dengan bur, atau perak dengan garam, maka boleh ada kelebihan atau secara bertempo, kredit:
Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedangkan Nabi saw menggadaikan sebuah baju besinya kepada Yahudi itu. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1393 dan Fathul Bari IV: 399 no: 2200).

Dalam kitab Subulus Salam III: 38, al-Amir ash-Sha’ani menyatakan. “Ketahuilah bahwa para ulama’ telah sepakat atas bolehnya barang ribawi (barang yang bisa ditakar atau ditimbang, edt) ditukar dengan barang ribawi yang berlainan jenis, baik secara bertempo meskipun ada kelebihan jumlah atau berbeda beratnya, misalnya emas ditukar dengan hinthah (gandum), perak dengan gandum, dan lain sebagainya yang termasuk barang yang bisa ditakar.”

Namun, tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering, kecuali para pemilik ‘ariyah, karena mereka adalah orang-orang yang faqir yang tidak mempunyai pohon kurma, yaitu mereka boleh membeli kurma basah dari petani kurma, kemudian mereka makan dalam keadaan masih berada di pohonnya, yang mereka taksir, mereka menukarnya dengan kurma kering.

Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang muzabanah. Muzabanah ialah menjual buah-buahan dengan tamar secara takaran, dan menjual anggur dengan kismis secara takaran. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 384 no: 2185, Muslim III: 1171 no: 1542 dan Nasa’i VII: 266)

Dari Zaid bin Tsabit ra bahwa Rasulullah saw memberi kelonggaran kepada pemilik ‘ariyyah agar menjualnya dengan tamar secara taksiran. (Muttafaqun‘alaih: Muslim III: 1169 no: 60 dan 1539 dan lafadz ini baginya dan sema’na dalam Fathul Bari IV: 390 no: 2192, ‘Aunul Ma’bud IX: 216 no: 3346, Nasa’i VII: 267, Tirmidzi II: 383 no: 1218 dan Ibnu Majah II: 762 no: 2269).
Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kurma basah dengan tamar hanyalah karena kurma basah kalau kering pasti menyusut.

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra bahwa Nabi saw pernah ditanya perihal menjual kurma basah dengan tamar. Maka Beliau (balik) bertanya, “Apakah kurma basah itu menyusut apabila telah kering?” Jawab para sahabat, “Ya, menyusut.” Maka Beliaupun melarangnya. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1352, ‘Aunul Ma’bud IX: 211 no: 3343, Ibnu Majah II: 761 no: 2264, Nasa’i VII: 269 dan Tirmidzi II: 348 no: 1243).

Dan, tidak sah jual beli barang ribawi dengan yang sejenisnya sementara keduanya atau salah satunya mengandung unsur lain.

Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang menjadi landasan kesimpulan ini dimuat juga dalam Mukhtashar Nailul Authar hadits no: 2904. Imam Asy-Syaukani, memberi komentar sebagai berikut, “Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual emas yang mengandung unsur lainnya dengan emas murni hingga unsur lain itu dipisahkan agar diketahui ukuran emasnya, demikian juga perak dan semua jenis barang ribawi lainnya, karena ada kesamaan illat, yaitu haram menjual satu jenis barang dengan sejenisnya secara berlebih.”

Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: “Pada waktu perang Khaibar aku pernah membeli sebuah kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan permata, kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari dua belas Dinar, kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau bersabda, ‘Kalung itu tidak boleh dijual hingga dipisahkan.’” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1356, Muslim III: 1213 no: 90 dan 1591, Tirmidzi II: 363 no: 1273, ‘Aunul Ma’bud IX: 202 no: 3336 dan Nasa’i VII: 279).

Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya.Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut:

1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad SAW:

2. "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya."Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.

3. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).

4. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi etika).
         

5. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial).
     

Ini semua dapat diartikan, bahwa dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api pertentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.

Rabu, 03 April 2013

Prosesi Pernikahan KUA Tempurejo








PROSEDUR NIKAH



Prosedur Administrasi Nikah

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, semoga salam dan shalawat senantiasa tercurah kepada panglima pembawa kebenaran, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.



Pembaca yang dirahmati Allah, pada kesempatan kali ini kami hadirkan kepada sidang pembaca sekalian tentang prosedur pernikahan di Indonesia. Besar harapan kami artikel ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Selamat membaca

Prosedur Pernikahan Di Kantor Urusan Agama (KUA)

Pendahuluan
Negara Indonesia adalah salah satu negara yang menganut paham RULE OF LAW, artinya negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, seluruh tata administrasi  yang tercatat legal di pemerintahan harus sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah tata administrasi nikah. Secara hukum, nikah tidak akan di catat resmi oleh pemerintah jika belum memenuhi prosedur yang berlaku.
Oleh karna itu sejak terbitnya UU No. 22 Tahun 1946 pernikahan harus dilaksanakan di hadapan dan di bawah pengawasan Petugas Pencatat Nikah (PPN). Hal ini bertujuan untuk memastikan sekaligus mengawasi pernikahan agar sesuai dengan syariat Islam.

Persiapan Pernikahan :
1. Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian apakah mereka saling cinta/setuju dan apakah kedua orang tua mereka menyetujui/merestuinya. Ini erat kaitannya dengan surat-surat persetujuan kedua calon mempelai dan surat izin orang tua bagi yang belum berusia 21 tahun .
2. Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalkan, adanya hubungan darah yang mengaharamkan nikah, atau saudara sepersusuan dll (Untuk mencegah terjadinya penolakan atau pembatalan perkawinan).
3. Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang pembinaan rumah tangga hak dan kewajiban suami istri dsb.
4. Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkaan calon mempelai supaya memeriksakan kesehatannya dan kepada calon mempelai wanita diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid.

A. Pemberitahuan Kehendak Nikah
Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang maka orang yang hendak menikah memberitahukan kehendaknya kepada PPN yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya akad nikah sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan. Pemberitahuan Kehendak Nikah berisi data tentang nama kedua calon mempelai, hari dan tanggal pelaksanaan akad nikah, data mahar/maskawin dan tempat pelaksanaan upacara akad nikah (di Balai Nikah/Kantor atau di rumah calon mempelai, masjid gedung dll). Pemberitahuan Kehendak Nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai, wali (orang tua) atau wakilnya dengan membawa surat-surat yang diperlukan :

I. Perkawinan Sesama WNI
1. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon Penganten (caten) masing-masing
1 (satu) lembar.
2. Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas segel/materai
bernilai minimal Rp.6000,- (enam ribu rupiah) diketahui RT, RW dan Lurah setempat.
3. Surat keterangan untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu Model N1, N2, N4, baik
calon Suami maupun calon Istri.
4. Pas photo caten ukuran 2×3 masing-masing 4 (empat)  dan ukuran 4x6 sautu lembar. Bagi anggota TNI
berpakaian dinas.
5. Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat Talak/Akta Cerai dari
Pengadilan Agama, jika Duda/Janda mati harus ada surat kematian dan surat
Model N6 dari Lurah setempat.
6. Harus ada izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi :
     a.Caten Laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun;
     b. Caten Perempuan yang umurnya kurang dari 16 tahun;
     c. Laki-laki yang mau berpoligami.
7. Ijin Orang Tua (Model N5) bagi caten yang umurnya kurang dari 21 tahun baik
caten laki-laki/perempuan.
8. Bagi caten yang tempat tinggalnya bukan di wilayah Kecamatan setempat, harus ada
surat pengantar/rekomendasi Nikah dari KUA domisili.
10. Bagi anggota TNI/POLRI dan Sipil TNI/POLRI harus ada Izin Kawin dari Pejabat
Atasan/Komandan.
11. Bagi caten yang akan melangsungkan pernikahan ke luar wilayah Kecamatan harus ada Surat Rekomendasi Nikah dari KUA Kecamatan domisili.
12. Kedua caten mendaftarkan diri ke KUA  sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja dari waktu melangsungkan Pernikahan. Apabila kurang dari 10
(sepuluh) hari kerja, harus melampirkan surat Dispensasi Nikah dari Camat setempat.
13. Bagi WNI keturunan, selain syarat-syarat tersebut dalam poin 1 s/d 10 harus
melampirkan foto copy Akte kelahiran dan status kewarganegaraannya (K1).
14. Surat Keterangan tidak mampu dari Lurah/Kepala Desa bagi mereka yang tidak
mampu.

II. Perkawinan Campuran ( WNI & WNA)
1. Akte Kelahiran/Kenal Lahir
2. Surat tanda melapor diri (STMD) dari kepolisian
 
3. Surat Keterangan Model K II dari Dinas Kependudukan (bagi yang menetap lebih dari
 
satu tahun)
     
4. Tanda lunas pajak bangsa asing (bagi yang menetap lebih dari satu tahun)
       
5. Keterangan izin masuk sementara (KIMS) dari Kantor Imigrasi
   
6. Foto Copy PasPort
  
7. Surat Keterangan dari Kedutaan/perwakilan Diplomatik yang bersangkutan.
    
8. Semua surat-surat yang berbahasa asing harus diterjemahkan ke dalam bahasa
          
Indonesia oleh penterjemah resmi.

B. Pemeriksaan Nikah
PPN yang menerima pemberitahuan kehendak nikah meneliti dan memeriksa berkas –berkas yang ada apakah sudah memenuhi syarat atau belum, apabila masih ada kekurangan syarat maka diberitahukan adanya kekurangan tersebut. Setelah itu dilakukan pemeriksaan terhadap calon suami, calon istri dan wali nikahnya yang dituangkan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah (Model NB).
Jika calon suami/istri atau wali nikah bertempat tinggal di luar wilayah KUA Kecamatan dan tidak dapat hadir untuk diperiksa, maka pemeriksaannya dilakukan oleh PPN yang mewilayahi tempat tinggalnya. Apabila setelah diadakan pemeriksaan nikah ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku maka PPN berhak menolak pelaksanaan pernikahan dengan cara memberikan surat penolakan beserta alasannya. Setelah pemeriksaan dinyatakan memenuhi syarat maka calon suami, calon istri dan wali nikahnya menandatangani Daftar Pemeriksaan Nikah. Setelah itu yang bersangkutan membayar biaya administrasi  pencatatan nikah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

C. Pengumuman Kehendak Nikah
Setelah persyaratan dipenuhi PPN mengumumkan kehendak nikah (model NC) pada papan pengumuman di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan dilangsungkan dan KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing calon mempelai.
PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum lampau 10 hari kerja sejak pengumuman, kecuali seperti yang diatur dalam psl 3 ayat 3 PP No. 9 Tahun 1975 yaitu apabila terdapat alasan yang sangat penting misalnya salah seorang calon mempelai akan segera bertugas keluar negeri, maka dimungkinkan yang bersangkutan memohon dispensasi kepada Camat selanjutnya Camat atas nama Walikota/Bupati memberikan dispensasi.

D. Pelaksanaan Akad Nikah
1.Pelaksanaan Upacara Akad Nikah :
* di Balai Nikah/Kantor         
* di Luar Balai Nikah : rumah calon mempelai, masjid atau gedung dll.
2.Pemeriksaan Ulang (Rafa'):
Sebelum pelaksanaan upacara akad nikah PPN /Penghulu terlebih dahulu memeriksa/mengadakan pengecekan ulang persyaratan nikah dan administrasinya kepada kedua calon pengantin dan walinya untuk melengkapi kolom yang belum terisi pada waktu pemeriksaan awal di kantor atau apabila ada perubahan data dari hasil pemeriksaan awal. Setelah itu PPN/ Penghulu menetapkan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
3. Pemberian izin      
Sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan dianjurkan bagi ayah untuk meminta izin kepada anaknya yang masih gadis atau anak terlebih dahulu minta/memberikan izin kepada ayah atau wali, dan keharusan bagi ayah meminta izin kepada anaknya untuk menikahkan bila anak Berstatus janda.
4. Pembacaan khutbah nikah         
Sebelum pelaksanaan ijab qobul sebagaimana lazimnya upacara akad nikah bisa didahului dengan pembacaan khutbah nikah, pembacaan istighfar dan dua kalimat syahadat
5.Akad Nikah /Ijab Qobul
6.Pelaksanaan ijab qobul     
dilaksanakan sendiri oleh wali nikahnya terhadap calon mempelai pria, namun apabila karena sesuatu hal wali nikah/calon mempelai pria dapat
mewakilkan kepada orang lain yang ditunjuk olehnya.
7.Penandatanganan Akta Nikah     
Penandatanganan Akta Nikah kedua mempelai, wali nikah, dua orang saksi dan PPN yang menghadiri akad nikah.
8.Pembacaan Ta’lik Talak
9.Penandatanganan ikrar Ta’lik Talak
10.Penyerahan maskawin/mahar
11.Penyerahan Buku Nikah/Kutipan Akta Nikah.
12.Nasihat perkawinan
13.Do’a penutup.
Barakllah laka wabaraka ‘alaika wajama’a bainakuma filkhair….
selamat menikah...
semoga bahagia